COUNTINEWS.CO.CC- Ini kisah sebuah biara, dengan himpunan rahib tak lagi muda. Ketika terang datang, mereka menancapkan jemari berkuku tumpul itu ke tanah gembur untuk menyimpan bibit kentang. Menjelang petang, tubuh-tubuh kisut itu mulai bergoyang-goyang kecil di kapel. Dari mulut mereka, nama Tuhan dipanggil-panggil dengan rasa gentar.
Ini kisah sebuah biara, tempat para rahib tak pantang melafalkan baris-baris dari Al-Quran. Bagi mereka, Tuhan hanya berbeda dalam bahasa. Karena itu, pada waktu pagi, dan memanjang ke siang benderang, mereka bekerja atas nama kemanusiaan: si juru medis, memberikan pengobatan cuma-cuma; sang ahli madu giat memanen olahan lebah.
Ini kisah sebuah biara, yang didiami para rahib berkebangsaan Perancis, di tengah komunitas Muslim Aljazair. Pada waktu-waktu tertentu di kala siang, mereka berjualan madu di pasar serta bertukar hasil bumi. Si ahli kitab sudi mampir ke kediaman penghulu masyarakat setempat demi bertukar pengetahuan: ia leluasa mengutip
ayat-ayat yang pernah diingat Muhammad tentang perkara tertentu. Jika saatnya tiba undur diri, mereka saling beruluk salam dengan penuh hormat.
Tapi kisah ini tak panjang. Alur cerita diputus justru oleh sesuatu yang selama ini melandasi keputusan mereka tinggal di tengah daerah teramat miskin itu: iman. Mengenai ini, seorang rahibnya pernah menyitir pendapat Blaise Pascal, seorang filusuf Perancis, yang seolah-olah menjadi pertanda: "Tak pernah manusia melakukan kejahatan dengan tulus dan riang seperti ketika menjalankannya atas nama keyakinan agama."
Ketika sang rahib Katolik bernama Luc itu, dimainkan oleh aktor berusia 79 tahun Michael Lonsdale, mengutip pikiran Pascal, ia tengah dilanda kemelut. Sebab, mereka baru saja mendapat ancaman dari para mujahid Islam yang tergabung dalam kelompok garis keras Jamaah Islamiyah.
Film yang disutradarai Xavier Beauvois ini memakai latar belakang Aljazair tahun 1996, masa ketika kekerasan agama serta pertikaian antar-faksi mulai meledak. Diadaptasi dari kisah nyata, "Of Gods and Men" dengan baik berupaya menyusuri akar kekerasan yang hari-hari ini mencekam dunia lewat aksi-aksi teror. Dan karya Beauvois unggul
justru karena kesederhanaan yang ia tampilkan.
Cobalah dengan saksama Anda lihat layar: rahib-rahib yang bekerja dalam rutin; penduduk dengan aktivitas tempo lambat; percakapan pendek tentang cinta; kesunyian dan kesendirian. Tak ada yang berlebihan. Sebagaimana pula berhubungan dengan tetangga berbeda keyakinan: tak ada yang berlebihan. Tapi justru itu keunggulan sang
sutradara. Diam-diam, dengan caranya yang berkesan santai, ia menempatkan kita pada posisi penuh debar demi mengantisipasi kengerian di babak-babak berikut.
Ketakutan, yang akhirnya merayap di sepanjang film, mulai dijejalkan Beauvois ketika pemimpin biara ordo Cistercian, Michael, yang diperankan oleh Lambert Wilson secara meyakinkan, menerima surat perintah yang menyatakan bahwa segenap orang asing di negeri itu wajib mengungsi akibat ketegangan yang kian hebat. Mereka cemas.
Pertanyaannya: pergi atau menetap?
Diresapi kegundahan, mereka berdiskusi dengan penduduk sekitar. Kepada warga, mereka mengumpamakan diri mereka di kampung itu sebagai burung yang bertengger di dahan. Tapi, seorang perempuan justru membalas, "Salah. Justru kamilah burung itu. Kalian dahan tempat hinggap."
Setelah melewati beberapa peristiwa, pertukaran pikiran, serta doa-doa panjang, mereka memutuskan terus di sana. "Saya tak pernah berpikir meninggalkan tempat ini," kata seorang rahib.
Keputusan yang dibuat di meja makan itu niscaya membawa penonton ke ambang antara lega sekaligus sesak. Tak ada ruang dalam adegan-adegan berikutnya yang tak mengandaikan situasi gawat. Puncaknya, yang kiranya menjadi bagian paling mengesankan, adegan mirip Perjamuan Akhir yang terkenal itu. Diiringi nomor "Swan Lake" karya komponis Tchaikovsky', para rahib berkumpul di meja makan, meminum anggur merah. Kamera secara intens menyorot satu demi satu air muka mereka. Pada titik itu, momen subtil sinema menjadi. Dan kita dihadapkan pada sesuatu yang melebihi keimanan: kemanusiaan. (sj) sumber• VIVAnews
(tricycle.co.uk) |
Ini kisah sebuah biara, yang didiami para rahib berkebangsaan Perancis, di tengah komunitas Muslim Aljazair. Pada waktu-waktu tertentu di kala siang, mereka berjualan madu di pasar serta bertukar hasil bumi. Si ahli kitab sudi mampir ke kediaman penghulu masyarakat setempat demi bertukar pengetahuan: ia leluasa mengutip
ayat-ayat yang pernah diingat Muhammad tentang perkara tertentu. Jika saatnya tiba undur diri, mereka saling beruluk salam dengan penuh hormat.
Tapi kisah ini tak panjang. Alur cerita diputus justru oleh sesuatu yang selama ini melandasi keputusan mereka tinggal di tengah daerah teramat miskin itu: iman. Mengenai ini, seorang rahibnya pernah menyitir pendapat Blaise Pascal, seorang filusuf Perancis, yang seolah-olah menjadi pertanda: "Tak pernah manusia melakukan kejahatan dengan tulus dan riang seperti ketika menjalankannya atas nama keyakinan agama."
Ketika sang rahib Katolik bernama Luc itu, dimainkan oleh aktor berusia 79 tahun Michael Lonsdale, mengutip pikiran Pascal, ia tengah dilanda kemelut. Sebab, mereka baru saja mendapat ancaman dari para mujahid Islam yang tergabung dalam kelompok garis keras Jamaah Islamiyah.
Film yang disutradarai Xavier Beauvois ini memakai latar belakang Aljazair tahun 1996, masa ketika kekerasan agama serta pertikaian antar-faksi mulai meledak. Diadaptasi dari kisah nyata, "Of Gods and Men" dengan baik berupaya menyusuri akar kekerasan yang hari-hari ini mencekam dunia lewat aksi-aksi teror. Dan karya Beauvois unggul
justru karena kesederhanaan yang ia tampilkan.
Cobalah dengan saksama Anda lihat layar: rahib-rahib yang bekerja dalam rutin; penduduk dengan aktivitas tempo lambat; percakapan pendek tentang cinta; kesunyian dan kesendirian. Tak ada yang berlebihan. Sebagaimana pula berhubungan dengan tetangga berbeda keyakinan: tak ada yang berlebihan. Tapi justru itu keunggulan sang
sutradara. Diam-diam, dengan caranya yang berkesan santai, ia menempatkan kita pada posisi penuh debar demi mengantisipasi kengerian di babak-babak berikut.
Ketakutan, yang akhirnya merayap di sepanjang film, mulai dijejalkan Beauvois ketika pemimpin biara ordo Cistercian, Michael, yang diperankan oleh Lambert Wilson secara meyakinkan, menerima surat perintah yang menyatakan bahwa segenap orang asing di negeri itu wajib mengungsi akibat ketegangan yang kian hebat. Mereka cemas.
Pertanyaannya: pergi atau menetap?
Diresapi kegundahan, mereka berdiskusi dengan penduduk sekitar. Kepada warga, mereka mengumpamakan diri mereka di kampung itu sebagai burung yang bertengger di dahan. Tapi, seorang perempuan justru membalas, "Salah. Justru kamilah burung itu. Kalian dahan tempat hinggap."
Setelah melewati beberapa peristiwa, pertukaran pikiran, serta doa-doa panjang, mereka memutuskan terus di sana. "Saya tak pernah berpikir meninggalkan tempat ini," kata seorang rahib.
Keputusan yang dibuat di meja makan itu niscaya membawa penonton ke ambang antara lega sekaligus sesak. Tak ada ruang dalam adegan-adegan berikutnya yang tak mengandaikan situasi gawat. Puncaknya, yang kiranya menjadi bagian paling mengesankan, adegan mirip Perjamuan Akhir yang terkenal itu. Diiringi nomor "Swan Lake" karya komponis Tchaikovsky', para rahib berkumpul di meja makan, meminum anggur merah. Kamera secara intens menyorot satu demi satu air muka mereka. Pada titik itu, momen subtil sinema menjadi. Dan kita dihadapkan pada sesuatu yang melebihi keimanan: kemanusiaan. (sj) sumber• VIVAnews
No comments:
Post a Comment