Kami Mau Gas yang Aman dan Hemat

Rahmawaty (43), warga Kelurahan Lorok Pakjo, Kota Palembang, Senin (23/8/2010) sore, sibuk membersihkan sisa minyak goreng yang melekat di kompor gasnya. Sesekali kompor itu dibolak-balik serta diamati pada bagian lubang tempat memasang pipa regulator pada tabung elpiji 3 kilogram.


”Kompor dan tabung gas 3 kilogram ini sudah dua bulan tidak saya gunakan karena khawatir bermasalah. Memang beberapa waktu lalu ada petugas datang menyosialisasikan keamanan penggunaan serta perawatan tabung, tapi terus terang, saya masih takut. Setelah sekian lama, baru hari ini saya berniat mencoba lagi,” katanya.

Selama dua bulan tidak menggunakan tabung elpiji 3 kilogram, Rahmawaty beralih menggunakan layanan gas alam yang dialirkan melalui pipa ke rumahnya. Kebetulan, Lorok Pakjo dan Siring Agung merupakan dua kelurahan di Kota Palembang yang saat ini jadi sasaran penerima bantuan proyek gas alam untuk rumah tangga. Proyek yang lebih dikenal sebagai gas kota itu digagas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palembang. PT Sarana Pembangunan Palembang Jaya diserahi tanggung jawab untuk mengelola proyek tersebut.

Menurut Yusransyah Ishak, Direktur Operasional PT Sarana Pembangunan Palembang Jaya, selama dua bulan terakhir terjadi kenaikan permintaan berlangganan. Tercatat sekitar 500 aplikasi permohonan diajukan warga.

”Untuk tahun ini, pemerintah sebenarnya membatasi penggunaan gas alam untuk 4.000 keluarga di dua kelurahan saja. Namun, akhirnya pemerintah mengakomodasi minat warga ini. Rencananya, kami akan menambah 130 jaringan baru,” kata Yusransyah.

Berdasarkan data Pemerintah Kota Palembang, saat ini tercatat 145.970 keluarga di tujuh kecamatan sudah menikmati layanan gas alam. Mereka dilayani oleh PT Perusahaan Gas Negara.

Selain Palembang, wilayah lain yang juga tercatat memiliki infrastruktur gas kota adalah Medan, Cirebon, Jakarta, dan Surabaya. Infrastruktur gas itu sebagian besar dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara.

Pemerintah mulai mencanangkan program gas kota pada 2009. Targetnya, pada 2014 ada 80.000 rumah tangga yang bisa tersambung. Dari survei yang dilakukan Badan Pelaksana Kegiatan Hilir Migas, ada 27 kota di seluruh Indonesia yang memungkinkan dibangun infrastruktur gas karena lokasinya dekat dengan sumber dan tata kotanya masih memungkinkan. Namun, pembangunan infrastruktur gas kota masih terbatas karena keterbatasan anggaran. Total biaya yang dibutuhkan untuk membangun gas di kota-kota yang sudah direncanakan itu mencapai Rp 2 triliun. Tahun ini pemerintah merencanakan membangun jaringan gas kota di Depok, Tarakan, dan Sidoarjo.

Hemat

Ibu-ibu di Palembang yang beralih dari elpiji ke gas kota mengaku bisa menghemat biaya. Di daerah yang dekat dengan sumber gas alam seperti Palembang, harga gas alam yang disalurkan lewat pipa lebih murah daripada elpiji. Menurut Rahmawaty, dalam sebulan ia harus mengeluarkan biaya Rp 60.000 untuk membeli empat tabung elpiji seharga Rp 15.000 per tabung. Adapun biaya langganan gas alam hanya Rp 50.000 per bulan.

”Untuk keluarga yang pas- pasan seperti kami, selisih biaya Rp 10.000 tentu sangat berarti. Uang itu bisa disisihkan untuk keperluan dapur,” kata Rahmawaty.

Penggunaan gas alam rumah tangga ini juga lebih hemat jika dibandingkan dengan minyak tanah. Paling tidak, ini dirasakan oleh Fitri (35), warga Kelurahan Siring Agung, Palembang, yang juga sudah beralih menggunakan gas alam dari minyak tanah. Jika menggunakan minyak tanah, Fitri harus menghabiskan sekitar 30 liter per bulan. Dengan harga eceran Rp 2.500 per liter, uang yang harus dikeluarkannya sekitar Rp 75.000 per bulan.

”Sementara dengan pemakaian 20-25 meter kubik gas alam, saya hanya membayar Rp 25.000-Rp 30.000 per bulan. Jelas ini sangat mengurangi beban keuangan keluarga untuk membeli bahan bakar setiap bulan,” kata Fitri.

Selain hemat, gas yang disalurkan lewat pipa juga dinilai lebih aman karena tekanannya yang rendah. Yusransyah mengatakan, tingkat keamanan gas pipa antara lain didukung dengan penggunaan pipa baja dan penerapan sistem kenop sebagai pengatur tekanan gas dari pipa utama ke kompor.

Gas alam didistribusikan dari pipa utama menuju pipa-pipa sekunder. Pipa utama ini merupakan sambungan pipa berisi aliran gas dari stasiun gas milik pengelola, sementara pipa sekunder merupakan sambungan dari pipa utama menuju ke instalasi di rumah tangga.

Pengelola memasang meteran di antara pipa utama dan pipa sekunder. Cara kerja instalasi kenop ini tak ubahnya dengan penggunaan instalasi meteran air bersih dari PDAM, yakni untuk mengatur tekanan gas yang akan dialirkan ke dalam instalasi pipa sekunder.

”Pengguna tinggal menggunakan kompor gas standar. Kompor gas ini juga memiliki alat pengatur aliran gas dari pipa sekunder ke kompor,” kata Yusransyah.

Jika terjadi kebocoran gas di dalam instalasi pipa sekunder, pengguna sudah diingatkan agar segera menutup aliran gas dari pipa utama dengan cara memutar kenop pada instalasi meteran yang terpasang di depan rumah. Dengan demikian, kebocoran tidak akan merambat ke jaringan pipa utama.

”Seandainya terjadi kebocoran pada pipa utama, hal itu menjadi tanggung jawab pengelola. Pengelola juga punya alat pendeteksi kebocoran jaringan pipa sehingga bisa ditanggulangi dengan cepat,” kata Yusransyah.

Jaminan keamanan dan kemudahan cara pemakaian serta biaya operasional yang lebih hemat ini sebenarnya merupakan alternatif pendistribusian bahan bakar. Sayangnya, alternatif fasilitas gas—yang relatif aman—melalui pipa ini belum banyak dinikmati masyarakat. Oleh Boni Dwi Pramudyanto
Sumber Kompas.com 


No comments:

Post a Comment

Pages